Insights

Insights

 

Latest News

    Trending Topics

      People

      Careers

      Contact

      Language

      Thank You

      You are now registered for our Rouse Insights Newsletter

      Ketika Formalitas Mengesampingkan Substansi Perkara di Indonesia

      Published on 30 Jan 2023 | 4 minute read
      Kasus sengketa pelanggaran merek GOTO menunjukkan syarat formalitas mengesampingkan pentingnya pemeriksaan pokok perkara

      Banyak sekali tantangan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) di Indonesia, termasuk dalam sengketa merek. Membuktikan subtansi yang menjadi pokok perkara sudah sangat menantang dan penggugat masih harus mengantisipasi adanya bantahan dari segi formalitas oleh tergugat atau pihak ketiga. Sebuah perkara sengketa merek baru-baru ini yang melibatkan salah satu perusahaan e-commerce terbesar di Indonesia lagi-lagi mengkonfirmasi hal ini sekaligus menunjukkan adanya tantangan penggunaan merek secara komersial yang lebih luas.

      Pemenuhan syarat formalitas adalah tantangan yang banyak dijumpai dalam proses berlitigasi di Indonesia. Hal ini dapat mencakup kompetensi pengadilan, validitas surat kuasa, ketidakjelasan materi gugatan (obcuur libel), kesalahan dalam menentukan pihak (error in persona), gugatan yang prematur, dan gugatan terhadap suatu perkara yang telah diputus sebelumnya yang melibatkan pihak dan pokok materi yang sama (ne bis in idem). Kegagalan untuk pemenuhan syarat formalitas umumnya dapat menyebabkan gugatan tidak diterima oleh Majelis Hakim. Pengadilan di Indonesia seringkali sangat fokus pada terpenuhinya syarat formalitas sebelum mempertimbangkan pokok perkara. Faktor-faktor seperti adanya pendapat yang bias, subjektivitas, kecenderungan, dan interpretasi hukum yang sangat luas dari Majelis Hakim merupakan faktor yang mungkin menambah risiko dalam litigasi.

      Kasus pelanggaran merek GOTO baru-baru ini adalah contoh di mana pengadilan nampak memperluas intepretasi dan cakupan eksepsi atas kompetensi absolut.

      Sebagai latar belakang, PT Terbit Financial Technology ("PT Terbit") adalah perusahaan start-up di bidang e-commerce. PT Terbit menyediakan solusi perangkat lunak untuk perusahaan e-commerce, termasuk menghubungkan ke logistik dan sistem pembayaran. Pada bulan Maret 2022, PT Terbit mengajukan permohonan pendaftaran merek GOTO di kelas 42, yang mencakup jenis jasa terkait dengan "Fitur Software as a service (SAAS)." Permohonan pendafataran merek GOTO oleh PT Terbit diterima dan terdaftar pada tanggal 25 Mei 2021 di bawah Daftar No. IDM000858218.

      Terkait dengan penyediaan layanan platform dengan merek GOTO, PT Terbit pernah mengadakan perjanjian dengan PT Paket Anak Bangsa, sebuah perusahaan penyedia jasa payment gateway, dan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa. PT Aplikasi Karya Anak Bangsa merupakan salah satu perusahaan ''unicorn” terbesar di Indonesia yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebagai Gojek. Perusahaan ini adalah penyedia jasa transportasi yang menggunakan platform online dan pembayaran digital. Pada tahun 2021, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa melakukan penggabungan perusahaan (merger) dengan “unicorn” lainnya yakni PT Tokopedia yang merupakan penyedia layanan platform e-commerce terbesar di Indonesia, dan membentuk PT GoTo Gojek Tokopedia ("PT GoTo") dengan kapitalisasi pasar sebesar hampir US$14 miliar.

      PT Terbit keberatan dengan penggunaan merek GOTO oleh PT GoTo dan menggugat PT GoTo atas pelanggaran merek GOTO miliknya. PT Terbit mengklaim adanya kerugian hampir sebesar US$130 juta. Tidak diketahui apakah PT GoTo telah melakukan penelusuran merek (clearance search) untuk merek baru mereka dengan baik atau apakah ada masalah kontrak lainnya dengan PT Terbit. Pada tanggal 5 Maret 2021, PT GoTo mengajukan permohonan pendaftaran merek GOTO dengan huruf kapital di kelas 42 untuk jenis jasa platform e-commerce.

      Dalam perkara tersebut PT GoTo mendalilkan adanya cacat formil dalam gugatan PT Terbit dan adanya perbedaan jenis jasa yang tercakup dalam mereknya dengan jenis jasa yang terdapat dalam merek GOTO milik PT Terbit, dalam pokok perkara. Dalam eksepsinya, PT GoTo berargumen bahwa PT Terbit sebagai penggugat telah menggabungkan dua jenis gugatan yang berbeda, yakni gugatan pembatalan merek dan gugatan pelanggaran merek. PT GoTo juga berpendapat bahwa Pengadilan Niaga tidak memiliki kompetensi untuk memeriksa perkara tersebut karena PT Terbit juga meminta Pengadilan Niaga untuk memerintahkan Direktorat Merek dan Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Direktorat Merek) untuk menolak semua permohonan pendaftaran merek GOTO di beberapa kelas yang masih dalam proses pemeriksaan. PT GoTo mandalilkan bahwa penerimaan atau penolakan suatu permohonan pendaftaran merek merupakan kewenangan absolut Direktorat Merek, bukan Pengadilan Niaga. Dengan demikian, hal tersebut diluar kewenangan absolut Pengadilan Niaga.

      Dalil tersebut merupakan dalil yang tidak biasa. Eksepsi kompetensi absolut biasanya diajukan terhadap suatu gugatan yang ditujukan ke pengadilan diluar dari kewenangan yurisdiksinya, khususnya apabila apa yang dimintakan dalam perkara tersebut merupakan kewenangan mengadili yang seharusnya dimiliki oleh pengadilan lainnya. Dalam perkara ini PT GoTo mendalilkan bahwa penolakan suatu permohonan merek merupakan kewenangan Direktorat Merek, bukan ke Pengadilan Niaga. Secara teknis pengadilan memang tidak berwenang memerintahkan hal itu dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Namun yang menjadi menarik, Direktorat Merek bukanlah suatu lembaga pengadilan.

      Pada prakteknya, eksepsi kompetensi absolut atau relatif diputuskan di awal proses persidangan sebelum dimulainya sidang pembuktian (dengan putusan sela atau putusan provisi). Sedangkan, eksepsi berdasarkan alasan lain diputuskan bersamaan dengan putusan akhir.

      Pengadilan Niaga memutuskan menerima dalil eksepsi kompetensi absolut PT GoTo dan menyatakan gugatan PT Terbit tidak dapat diterima. Oleh karena itu, pokok perkara dan bukti pendukung tidak lagi diperiksa.

      Lebih lanjut, Direktorat Merek pada akhirnya menerima permohonan pendaftaran merek GOTO atas nama PT GoTo, yang masih dalam proses pemeriksaan substantif pada saat gugatan pelanggaran merek tersebut diajukan ke pengadilan. Direktorat Merek menyatakan bahwa merek dengan kata yang sama dapat terdaftar secara berdampingan di kelas yang sama jika jenis jasa yang dicakupnya berbeda.

      PT Terbit tidak mengajukan kasasi atas putusan pengadilan niaga tersebut dan mungkin saja akan mengajukan gugatan baru. Namun alih-alih kasus pelanggaran merek secara murni, PT Terbit perlu mengajukan gugatan untuk membatalkan pendaftaran merek GOTO milik PT GoTo. Selain itu bisa saja telah tercapai kesepakatan untuk penyelesaian permasalahan diluar pengadilan. Bagaimanapun, adanya kesamaan layanan dan posisi pasar mereka belum diselesaikan secara publik.

      Apa yang dapat dipelajari dari perkara ini adalah pentingnya mempersiapkan perkara dengan sempurna serta tidak mengambil risiko dengan pengadilan di Indonesia dan memastikan seluruh dokumen dan persyaratan formalitas telah terpenuhi. Namun demikian, adanya ketidakpastian merupakan hal yang tetap harus diantisipasi mengingat luasnya kewenangan 'hakim' untuk memperluas cakupan dan interpretasi atas syarat formalitas gugatan.

      Masalah ini dapat dilihat sebagai kasus David melawan Goliath. Pengguguran gugatan atas dasar formalitas mungkin merupakan suatu putusan yang terlalu keras. Hakim lain mungkin saja akan melihat perkara ini dari sudut pandang yang berbeda dengan lebih fokus terhadap pemeriksaan pokok perkara. Alasan lain, bisa saja hakim ragu untuk mengeluarkan suatu putusan yang dapat memaksa salah satu perusahaan paling terkenal di Indonesia untuk berhenti menggunakan mereknya. Kasus ini pun tergolong rumit karena para pihak memiliki hubungan komersial. Terdapat juga pertanyaan mengapa PT GoTo melakukan rebranding dengan mengetahui adanya pihak lain memiliki nama yang mirip. Terlepas ada tidaknya suatu cacat formil, kita dapat bertanya apakah dalam perkara ini pengadilan telah melewatkan kesempatan untuk membuat suatu keputusan hukum penting dalam salah satu sengketa merek terbesar di Indonesia.

      30% Complete

      Nick Redfearn

      Principal, Global Head of Enforcement
      +62 811 870 2616
      Senior Associate
      +62 21 5080 8157
      Nick Redfearn
      Principal, Global Head of Enforcement
      +62 811 870 2616
      Senior Associate
      +62 21 5080 8157